Kamis, 27 September 2012

Asal Mula Suku Dayak Maanyan


Sejarah

Menurut F. Ukur kelompok ini berasal dari Asia Selatan termasuk Proto Melayu. Dari ceritera yang dituturkan oleh Wadian Matei dalam upacara kematian Marubia Kiyaen, kelompok suku ini pernah melewati Sri Bagawan dan kota Lingga. Di dalam Kiyaen itu, tidak pernah disebut-sebut nama-nama tempat di Sumatera dan Jawa.
Kiyaen adalah kisah perjalanan suku ini. Besar kemungkinan melalui atau melewati Kalimantan bagian Utara memakai Banung atau bahtera, kemudian menyusuri pantai timur Kalimantan, Selat Makassar. Banung mereka ada yang sesat ke Pilipina selatan, ada pula singgah di Tanjung Pamukan dan kemudian dikenal dengan Dayak Sumihin menempati Tanah Gerogot selatan.
Dikisahkan bahwa rombongan utama yang dipimpin oleh Datuk Sigumpulan dan isterinya Dara Sigumpulan tiba disuatu tempat yang bernama Gusung Kadumanyan atau Gusung Malangkasari tidak jauh dari Ujung Panti di tepi sungai Barito. Tidak diketahui dengan jelas mengapa kelompok ini berpindah-pindah dari sana ke Bakumpai Lawas, Jengah Tarabang, Katuping Baluh, Bamban Sabuku, Kupang Sundung, Unsum Ruang, Eteen (Balangan) dan kemudian Nan Sarunai.
Nan Sarunai menjadi tempat yang makmur dan maju. Tata pemerintahan sudah teratur. Diperkirakan letaknya di sekitar Banua Lawas, Pasar Arba di hilir Kelua sekarang.
Pemerintahannya dipegang oleh semacam dewan, terdiri dari 40 orang yang mempunyai keahlian masing-masing. Sebagai pimpinan pemerintahan pada masa itu adalah Ambah Jarang dengan dibantu oleh 7 orang Uria dan 12 orang Patis.
Ketika Nan Sarunai mencapai puncak kemajuannya, tiba-tiba diserang oleh pasukan dari Jawa. Kejadian tersebut terkenal dengan ungkapan "Nan Sarunai hancur, usak Jawa".
Sebagian kecil penduduknya melarikan diri dan membangun tempat baru diberi nama "Batang Helang Ranu". Karena tidak aman Batang Helang Ranu itupun ditinggalkan, lalu menyebar ke daerah Barito Timur dengan pembagian Paju IV, Paju X dan Banua Lima.
Sekitar abad ke 16 datanglah Lebai Lamiyah meng-Islamkan, kecuali Paju IV, sampai ke Kampung Sarapat. Itulah sebabnya di daerah Paju IV masih ada Hukum Kematian dengan membakar tulang dan mayat. Karena ajaran-ajaran agama Islam sangat berbeda dengan adat istiadat dan kebudayaan mereka, maka kembalilah mereka ke status kepercayaan asli mereka semula. Akibatnya disana sini ada perubahan termasuk tak ada "Mapui" atau Pembakaran Mayat.
Penghujung abad ke 18 Belanda dapat dengan mudah berkuasa atas kelompok yang sangat mencintai kedamaian dan ketentraman ini. Kemudian diikuti oleh penyebaran agama Kristen Protestan. Masih pada ujung abad itu sudah ada diantara penduduk yang dibaptis oleh Pendeta Tromp dari Zending Bremen. Agama Kristen merambat masuk melalui Kuala Kapuas. Misi itu diikuti dengan mendirikan gedung gereja di Tamianglayang tahun 1933 dan sekolah Rakyat di beberapa kampung. Semula menempati Kampung Beto, kemudian Murutuwu, akan tetapi kampung tersebut menolak misi itu.
Dengan dibukanya sekolah tadi maka daerah ini menerima perubahan yang sangat berarti. Melalui pendidikan kemudian, orang Maanyan mulai masuk dan menjadi Kristen yang dikenal dengan "Ulun Ungkup", sedang yang menjadi Islam karena perkawinan dan hal lain disebut "Ulun Hakei".
kata Maanyan masih simpang siur mengartikannya. "Ma" artinya ke dan "anyan" berarti tanah kering dan berpasir. Jadi orang yang mendiami tanah kering dan berpasir, tetapi ada juga yang berpendapat dan mengartikan, ialah orang yang mendiami Gusung Kadumanyan.
Kelompok ini sudah mengenal bertani ladang dengan memperhatikan bintang "Awahat". Mata pencaharian lain yakni berburu, menangkap ikan, membuat perahu dan lain-lain. Ketika ini tetap berladang, berkebun karet, rotan dan buah-buahan dan berternak babi. Jika dahulu hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sekarang sudah merupakan tambahan nilai ekonomis.
Sebelum perang dunia kedua sudah banyak keluar untuk mencari lahan baru dan lebih subur. Disamping hutan merupakan sumber usaha tambahan. Mengumpulkan hasil hutan dan usaha membuat perahu. Karena hutan semakin menipis, maka pertanda kemunduran bagi hidup dan kehidupan mereka. Kemana lagi? kini lebih 40% menjadi buruh dan pegawai meninggalkan tempat asal mereka, menyebar kemana-mana.

Upacara

1. Melahirkan 
 Pada Suku Dayak Maanyan sejak anak masih di dalam kandungan ada upacaranya : Naranang bila anak dalam rahim sudah meningkat 7 bulan, terutama pada kelahiran atau kehamilan yang pertama kali. Kemudian ada upacara "Malas Bidan" dan memberi nama berlaku sesudah tanggal tali pusat si bayi. Dan ada lagi pesta "Nganrus ia" atau "Mubur Walenun"atau pesta turun mandi. Ketiga upacara tersebut selamanya memakai Balian.

2.Perkawinan

 Orang Maanyan memandang perkawinan itu luhur dan suci, karenanya diusahakan semeriah mungkin, memenuhi segala ketentuan adat yang berlaku. Dibebani dengan persyaratan yang harus diindahkan. Pada dasarnya Suku Dayak Maanyan tidak menyukai Poligami. Diusahakan pasangan yang seimbang, tidak sumbang. Perkawinan yang terbaik jika melalui kesepakatan antara kedua orang tua. Kebanyakan perkawinan masa lalu diusahakan oleh orang tua. Kini kebebasan memilih sudah tidak menjadi soal lagi. Dahulu yang menjadi ukuran orang tua, turunan, perilaku, rajin, dan terampil bekerja dirumah atau di ladang. Untuk wanita harus pandai memasak, menganyam dan kerajinan lain didalam rumah tangga. Sekarang sesuai dengan kebebasan mereka, serta sejauh rasa tanggung jawab masing-masing.Tahap pertama keinginan kedua belah pihak disetujui oleh orang tua masing-masing, kemudian bisik kurik, pertunangan atau peminangan, menentukan waktu terbaik dan biayanya. Sedangkan biaya pada waktu ini ditetapkan ditanggung bersama, tidak seperti dahulu sangat ditentukan oleh pihak wanita.Pesta perkawinan yang agak besar disebut "Nyumuh Wurung Jue" yakni meriah dan bergengsi. Bila perkawinan ini sumbang harus disediakan Hukum Adat "Panyameh Tutur" supaya bisa diselesaikan. Hampir semua orang pasti menghendaki cara perkawinan yang terbaik yakni melalui "Tunti-Tarutuh" atau jalan meminang si gadis.Cara-cara lain yang kurang terhormat yaitu melalui "Ijari" cara "Mudi" dan cara yang tidak terpuji melalui "Sihala", "Mangkau" dan cara kawin "Lari

3. Kematian

Kematian bagi setiap orang sungguh mengerikan, menyedihkan dan menakutkan sebab harus berpisah dengan kaum keluarga yang dicintai dan disayangi. Namun semua harus diselesaikan sesuai adat dan rukun kematian itu sendiri. Meskipun yang meninggal karena karam atau mati di negeri lain, upacaranya tanpa jasad tetapi sudah cukup dengan pakaian, rambut atau kuku si mati. Upacaranya disesuaikan dengan kemampuan keluarga, meskipun semua pekerjaan maupun biayanya didapat dari sumbangan dan bantuan seluruh keluarga bahkan oleh penduduk kampung.
Upacara kematian yang lengkap disebut MarabiaIjambe dan Ngadatonuntuk tingkat terhormat. Harus dilaksanakan secara lengkap menurut adat agar sampai ke Datu Tunyung (sorga). Bila tidak arwah atau adiau bisa gentayangan tidak sampai ke tempat tujuan.
Balian atau Wadian Matei sangat berperan memanggil, mengantar dan menunjuk jalan yang berliku-liku agar sampai ke Datu Tunyung yang dikatakan penuh dengan keriaan, kecukupan tak berhingga. Biaya dan bahan yang harus tersedia : uang, beras, beras pulut, jelai, telur, ayam kecil dan besar, babi bahkan kerbau.
Lama pelaksanaan dari satu malam, dua, tiga, lima, tujuh bahkan sembilan. Urutan menurut hari pelaksanaannya : TarawenIrupakIrapatNantak Siukur dalam Marabia, untuk Ngadaton dan Ijambe ada nama tambahan lagi.
Pelaksanaan upacara siang malam dapat selesai berkat kegotongroyongan dan semangat kebersamaan yang tinggi. Tidak ada perhitungan berapa biaya, tenaga dan waktu maupun perhitungan ekonomi lain asal si mati bisa diantarkan sampai ke Datu Tunyung. Perbuatan kaum kerabat demikian bahkan memberi kebahagiaan kehidupan dengan arwah lain yang telah mendahului mereka. Biaya yang dikeluarkan tidak sia-sia karena menjadi bekal perjalanan adiau menuju dunia kaum keluarga yang telah meninggal mendahului mereka.

4. Berladang

Sebelum memulai tahun perladangan, segala upacara untuk masalah kematian dan upacara syukuran harus sudah selesai dilaksanakan. Jika tidak, sangat berbahaya dan merugikan untuk keselamatan keluarga seisi kampung dan padi yang akan ditanam. Semua upacara harus ditutup mengadakan "Ipaket" atau "Ibubuhan" dengan tujuan menolak bala bencana untuk tahun depan. Semua roh jahat harus diberi bagian, agar dapat bekerja dengan tenteram dan keluarga dijauhkan dari sampar dan sebagainya. Upacara diadakan pada malam hari penuh seperti Nyepi di Bali. Artinya, tidak membunuh, tidak memotong kayu/pohon, menumbuk dan membuat ingar bingar di kampung sehari penuh.


Kesenian Dayak Maanyan


Suku Dayak Maanyan merupakan salah satu dari bagian subsuku Dayak dan juga merupakan salah satu dari suku-suku Dusun (Kelompok Barito bagian Timur) sehingga disebut juga Dusun Maanyan. Suku-suku Dusun termasuk golongan rumpun Ot Danum, salah satu rumpun suku Dayak sehingga disebut juga Dayak Maanyan. Suku Dayak Maanyan mendiami bagian timur provinsi Kalimantan Tengah, terutama di Kabupaten Barito Timur dan sebagian Kabupaten Barito Selatan yang disebut Maanyan I. Suku Dayak Maanyan juga mendiami bagian utara provinsi Kalimantan Selatan, tepatnya di Kabupaten Tabalong yang disebut Dayak Warukin. Dayak Balangan (Dusun Balangan) yang terdapat di Kabupaten Balangan dan Dayak Samihim yang terdapat di Kabupaten Kotabaru juga digolongkan ke dalam suku Dayak Maanyan. Suku Maanyan di Kalimantan Selatan dikelompokkan sebagai Maanyan II.
Suku Maanyan merupakan suku yang baru muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 2,80% dari penduduk Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Maanyan tergabung ke dalam suku Dayak pada sensus 1930.
Menurut orang Maanyan, sebelum menempati kawasan tempat tinggalnya yang sekarang, mereka berasal dari hilir (Kalimantan Selatan). Walaupun sekarang wilayah Barito Timur tidak termasuk dalam wilayah Kalimantan Selatan, tetapi wilayah ini dahulu termasuk dalam wilayah terakhir Kesultanan Banjar sebelum digabung ke dalam Hindia Belanda tahun 1860, yaitu wilayah Kesultanan Banjar yang telah menyusut dan tidak memiliki akses ke laut, sebab dikelilingi daerah-daerah Hindia Belanda.
Menurut situs "Joshua Project" suku Maanyan berjumlah 71.000 jiwa.
Menurut sastra lisan suku Maanyan, setelah mendapat serangan Marajampahit (Majapahit) kepada Kerajaan Nan Sarunai, suku ini terpencar-pencar menjadi beberapa sub-etnis. Suku ini terbagi menjadi 7 subetnis, di antaranya:
  • Maanyan Patai
  • Maanyan Paku
  • Maanyan Paju Epat (murni)
  • Maanyan Dayu
  • Maanyan Paju Sapuluh (ada pengaruh Banjar)
  • Maanyan Jangkung (ada pengaruh Banjar)
  • Maanyan Benua Lima/Paju Lima (ada pengaruh Banjar)
  • Maanyan Warukin (ada pengaruh Banjar)
  • dan lain-lain
Keunikan Suku Dusun Maanyan, antara lain mereka mempraktikkan ritus pertanian, upacara kematian yang rumit, serta memanggil dukun (balian) untuk mengobati penyakit mereka.

Proses Penguburan Suku Dayak Maanyan

Setelah seseorang dari suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah itu penduduk  setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.
Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.
Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu yang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.
Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe, damang, pengulu adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam rarung.
Pasambe bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si mati dengan makanan yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain.
Jika penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan. Pada saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei telah sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati selagi berada di dunia fana.